SENI BERPIKIR WARAS DI TAHUN POLITIK


Gambar: Kedua Calon Pemimpin Bangsa Setelah Debat Pertama Sumber : bisnis.com
Gegap gempita pemilu 2019 semakin terasa, dengan banyaknya kampanye yang dilakukan oleh calon-calon pemimpin bangsa. Visi misi, mulai diagungkan oleh mereka. Kemajuan Infrastuktur, ketersediaan pangan, peningkatan kualitas masyarakat dan lain sebaginya, dijadikan sebagai janji-janji calon pemimpin bangsa. Mereka berlomba-lomba merebut hati rakyat.
Jika tahun sebelumnya pemilu hanya memilih calon presiden, maka pada tahun ini terdapat kebijakan baru, pemilu juga digunakan untuk memilih calon legislatif, sehingga hal ini membuat semakin panasnya sumbu politik di Indonesia.  
Panasnya sumbu politik memicu terbentuknya kubu A dan kubu B, sikap fanatisme antar kubu, terkadang menimbulkan sikap irasional diantara mereka, pengalihan arti politik bahwa, pemilu adalah suatu kebijakan empat tahun sekali bergeser menjadi sebuah kompetisi.  Setiap kubu memiliki pemikiran tersendiri, mereka akan saling menutup kuping, jika mendengar sesuatu yang bersebrangan dengan kubu mereka, hal ini berdampak pada bukan persamaan pemikiran terhadap kemajuan Indonesia, melainkan pemikiran yang saling menjatuhkan.
Disisi lain, semakin menjamurnya kubu A dan kubu B, berbanding lurus dengan semakin berkembangnya hate speach antar kubu dan hoax yang berkembang di masyarakat. Terlebih, dengan kemudahan tekhnologi seperti saat ini, yang membuat berita hoax dengan mudah  merebah di masyarakat. Melalui Tirto.id yang didapat dari data lembaga penelitian Nielsen, penduduk Indonesia, rata-rata sehari berada di dunia maya, melalui komputer selama empat jam 42 menit, browsing di telepon genggam selama tiga jam 33 menit dan bersosial media selama dua jam 51 menit. Tak ayal penduduk Indonesia dengan gampang terpapar hate speach antar kubu dan hoax. Jika pikiran tidak di jaga tetap waras dan literasi kurang maka akan dengan mudah mempercayai hal tersebut.
Ironisnya di negeri ini hoax digunakan sebagai komoditas untuk mencari keuntungan pribadi maupun kepentingan kelompok tertentu, terlebih pada saat pemilu seperti ini. Dikutip pada BeritaSatu. Pada 2014, hoax muncul pada pesta demokrasi di negeri ini. Saat itu, beredar tabloid Obor Rakyat yang mendiskreditkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden (capres). 
Bukan hanya itu, bermunculan juga kasus hoax kala itu, yang disebarluaskan kelompok Saracen, mereka menggoreng isu-isu yang berhubungan dengan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan. Kemudian menyebarkan kepada masyarakat berupa ujaran kebencian. Kemunculan berita-berita hoax tersebut digunakan sebagai sarana pencarian keuntungan suatu individu maupun kelompok tertentu.
Berpikir Waras
Adanya kepentingan tertentu untuk mencari keuntungan dengan motif ekonomi memanfaatkan hoax, dapat menjadi ancaman serius bagi negeri ini, jika hal ini terus berlajut dampaknya adalah penduduk Indonesia akan bercerai berai, kebencian dimana-mana, Bhineka Tunggal Ika hanya akan menjadi simbol tanpa pengamalan, dan yang paling ditakutkan memunculkan tindakan radikalisme.
Menjaga pikiran agar tetap waras sangat dibutuhkan disituasi genting seperti ini. Tidak langsung percaya terhadap informasi yang sumbernya tidak jelas, dapat meningkatkan kewarasan di tahun politik seperti ini. Dikutip dari Liputan 6.com Gusmus menyampaikan bahwa jangan sampai sosial media dikuasai orang tak waras. Ajakan Gusmus tersebut jelas mengajak kita untuk tidak meninggalkan media sosial agar pikiran tetap waras di tahun politik, melainkan kita diajak untuk tetap menggunakan sosial media dan memerangi orang-orang tak waras yang menyebarkan berita bodong dan kebencian.

Dikutip dari hukumonline.com, Yoshihiro Francis Fukuyama, seorang ilmuan politik dan penulis Amerika Serikat dalam bukunya The End of History and the Last Man menuliskan bahwa dengan adanya transisi era masyarakat industri menuju era informasi, berkembangnya sosial media seperti saat ini. Akan melahirkan great disruptions yang akan merusak tatanan sosial. Dari tulisan tersebut dapat diartikan bahwa pemanfaatan sosial media yang tidak benar dapat merusak tatanan sosial yaitu dengan timbulnya hoax dan ujaran kebencian, yang merusakkan tatanan sosial. Seperti lahirnya kubu A dan kubu B di pemilu Indonesia, yang saling menebar kebencian di sosial media.

Disisi lain anggapan bahwa negara yang menganut Demokrasi, maka rakyat bebas berpendapat dan mengemukakan pendapat termaksud ujaran kebencian atau hate speach, membuat seseorang dengan mudah melegalkan perbuatannya. Maka dibutuhkan regulasi yang mengikat agar perbuatan semacam ini tidak semakin berkembang bebas di masyarakat.


Riset Data

Berpikir waras tanpa disertai riset data maka hasilnya omong kosong. Di beberapa negara maju seperti Eropa dan Inggris riset data menjadi suatu cara agar dapat bersaing dikancah internasional. Dikutip dari Harian Kompas Riset menjadi faktor utama keunggulan Inggris dan negara-negara Eropa dalam bersaing di kancah global. Bersama inovasi, riset menjadi kunci mendorong perbaikan kualitas hidup manusia dan bernegara, yang pada ujungnya produktivitas dan daya saing bangsa. (Nelson, 1993)

Betapa pentingnya riset dalam kehidupan bernegara, riset bukan hanya sebagai cara agar seseorang tidak langsung percaya terhadap suatu sumber informasi, tetapi riset juga digunakan sebagai sarana suatu negara agar dapat bersaing di kancah internasional.
Di era post truth seperti saat ini, informasi yang benar dan salah memang sulit dibedakan. Pada dasarnya, era ini fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal.

Dikutip dalam laman remotivi, menyatakan bahwa pada saat pemilu presiden di Amerika pada 2016, merupakan salah satu dampak era post truth, pada saat itu Trump menyebarkan berita bohong tentangnya, ternyata hal tersebut malah menaikkan nama Trump dan memenangkan Trump di pemilu presiden Amerika 2016.

Disisi lain, sesudah debat capres kedua yang dilaksanakan pada 17 Februari 2019 kemarin, memiliki dampak positif bagi riset Indonesia. Hal ini dapat diketahuhi dengan cepat sejumlah portal berita online, membentuk fakta dan data yang menjadi topik perdebatan, sehingga hal ini memudahkan masyarakat khususnya yang menonton debat tidak langsung percaya terhadap apa yang diomongkan oleh kedua calon.

Semakin memanasnya sumbu politik, diharap bukan hanya mencari simpatik. Calon pemimpin bangsa bukan hanya mengobral janji, tetapi juga harus ada bukti. Bersikap fanatisme terhadap salah satu kubu, diharap tetap menjaga kewarasan pikiran. Pilihan boleh mengalami perbedaan. Tetapi, prinsip tetap harus sama, mewujudkan keberlanjutan pembangunan nasional. (Antika Damayanti)



  


Komentar